Rabu, 07 April 2010

Menghindari Banyak Makan

Penulis: Redaksi Syariah, Permata Salaf, 22 - Februari - 2010, 19:12:04


Di antara sebab terbesar yang membantu seseorang untuk tetap giat menuntut ilmu, memahaminya dan tidak jemu, adalah memakan sedikit dari sesuatu yang halal.

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Aku tidak pernah kenyang semenjak 16 tahun lalu. Karena, banyak makan akan menyebabkan banyak minum, sedangkan banyak minum akan membangkitkan keinginan untuk tidur, menyebabkan kebodohan dan menurunnya kemampuan berpikir, lemahnya semangat, serta malasnya badan. Ini belum termasuk makruhnya banyak makan dari tinjauan syariat dan timbulnya penyakit jasmani yang membahayakan.”
Sebagaimana dikatakan dalam sebuah syair:
فَإِنَّ الدَّاءَ أَكْثَرَ مَا تَرَاهُ يَكُونُ مِنَ الطَّعَامِ أَوِ الشَّرَابِ
Sesungguhnya penyakit, kebanyakan yang engkau lihat
terjadi karena makanan atau minuman

Seandainya tidak ada keburukan dari banyak makan dan minum kecuali menyebabkan sering ke toilet, hal itu sudah cukup bagi orang yang berakal dan cerdas untuk menjaga diri darinya. Barangsiapa yang menginginkan keberhasilan dalam menuntut ilmu dan mendapatkan bekal hidup dari ilmu, namun disertai dengan banyak makan dan minum serta tidur, sungguh dia telah mengusahakan sesuatu yang mustahil menurut kebiasaan.

(Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, hal. 73-74, Al-Imam Badruddin Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dillah bin Jamaah Al-Kinani rahimahullahu, dengan beberapa perubahan)

www.asysyariah.com

Alkohol dalam Obat dan Parfum

Rabu, 29-Maret-2006,
Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Banyak pertanyaan seputar alkohol yang masuk ke meja redaksi, kaitannya dengan obat, kosmetika, atau pun lainnya. Berikut ini penjelasan Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Alhamdulillah, para ulama besar abad ini telah berbicara tentang permasalahan alkohol1, maka di sini kita nukilkan fatwa-fatwa mereka sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Terdapat perbedaan ijtihad di antara mereka dalam memandang permasalahan ini. Asy-Syaikh Ibnu Baz v berpendapat bahwa sesuatu yang telah bercampur dengan alkohol tidak boleh dimanfaatkan, meskipun kadar alkoholnya rendah, dalam arti tidak mengubahnya menjadi sesuatu yang memabukkan. Karena hal ini tetap masuk dalam hadits

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”2
Ketika beliau ditanya tentang obat-obatan yang sebagiannya mengandung bahan pembius dan sebagian lainnya mengandung alkohol, dengan perbandingan kadar campuran yang beraneka ragam, maka beliau menjawab: “Obat-obatan yang memberi rasa lega dan mengurangi rasa sakit penderita, tidak mengapa digunakan sebelum dan sesudah operasi. Kecuali jika diketahui bahwa obat-obatan tersebut dari “Sesuatu yang banyaknya memabukkan” maka tidak boleh digunakan berdasarkan sabda Nabi n:

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”
Adapun jika obat-obatan itu tidak memabukkan dan banyaknya pun tidak memabukkan, hanya saja berefek membius (menghilangkan rasa) untuk mengurangi beban rasa sakit penderita maka yang seperti ini tidak mengapa.”(Majmu’ Fatawa, 6/18)
Juga ketika beliau ditanya tentang parfum yang disebut
الْكُلُوْنِيَا
(cologne), beliau berkata: “Parfum family:traditional arabic'>
الْكُلُوْنِيَا
(cologne) yang mengandung alkohol tidak boleh (haram) untuk digunakan. Karena telah tetap (jelas) di sisi kami berdasarkan keterangan para dokter yang ahli di bidang ini bahwa parfum jenis tersebut memabukkan karena mengandung “spiritus” yang dikenal. Oleh sebab itu, haram bagi kaum lelaki dan wanita untuk menggunakan parfum jenis tersebut...
Kalau ada parfum jenis cologne yang tidak memabukkan maka tidak haram menggunakannya. Karena hukum itu berputar sesuai dengan ‘illah-nya3, ada atau tidaknya ‘illah tersebut (kalau ‘illah itu ada pada suatu perkara maka perkara itu memiliki hukum tersebut, kalau tidak ada maka hukum itu tidak berlaku padanya).” (Majmu’ Fatawa , 6/396 dan 10/38-39)
Dan yang lebih jelas lagi adalah jawaban beliau pada Majmu’ Fatawa (5/382, dan 10/41) beliau berkata: ”Pada asalnya segala jenis parfum dan minyak wangi yang beredar di khalayak manusia hukumnya halal. Kecuali yang diketahui mengandung sesuatu yang merupakan penghalang untuk menggunakannya, karena ‘sesuatu’ itu memabukkan atau banyaknya memabukkan atau karena ‘sesuatu’ itu adalah najis, dan yang semacamnya...
Jadi, jika seseorang mengetahui ada parfum yang mengandung ‘sesuatu’ berupa bahan memabukkan atau benda najis yang menjadi penghalang untuk menggunakannya, maka diapun meninggalkannya (tidak menggunakanya) seperti cologne. Karena telah tetap (jelas) di sisi kami berdasarkan persaksian para dokter (yang ahli di bidang ini) bahwa parfum ini tidak terbebas dari bahan memabukkan karena mengandung ‘spiritus’ berkadar tinggi, yang merupakan bahan memabukkan, sehingga wajib untuk ditinggalkan (tidak digunakan). Kecuali jika ditemukan ada parfum jenis ini yang terbebas dari bahan memabukkan (maka tentunya tidak mengapa untuk digunakan). Dan jenis-jenis parfum yang lain sebagai gantinya, sekian banyak yang dihalalkan oleh Allah k, walhamdulillah.
Demikian pula halnya, segala macam minuman dan makanan yang mengandung bahan memabukkan, wajib untuk ditinggalkan. Kaidahnya adalah: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram”, sebagaimana sabda Rasulullah n

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”
Dan hanya Allah k lah yang memberi taufik.”
Demikian pula yang terpahami dari fatwa guru kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i v (dalam Ijabatus Sa`il hal. 697) bahwa pendapat beliau sama dengan pendapat gurunya yaitu Asy-Syaikh Ibnu Baz v ketika ditanya tentang cologne. Beliau menjawab (tanpa rincian) bahwa tidak boleh menggunakannya dan tidak boleh memperjualbelikannya, berdasarkan hadits Anas bin Malik z:

لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرُهَا وَمُعْتَصِرُهَا وَشَارِبُهَا وَحَامِلُهَا وَالْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ وَسَاقِيْهَا وَبَائِعُهَا وَآكِلُ ثَمَنِهَا وَالْمُشْتَرِي لَهَا وَالْمُشْتَرَاةُ لَهُ

“Rasulullah n melaknat 10 jenis orang karena khamr: yang memprosesnya (membuatnya), yang minta dibuatkan, yang meminumnya, yang membawanya, yang dibawakan untuknya, yang menghidangkannya, yang menjualnya, yang makan (menikmati) harga penjualannya, yang membelinya dan yang dibelikan untuknya.”4
Sementara itu, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin v dan Asy-Syaikh Al-Albani v berpendapat bahwa pada permasalahan ini ada rincian, sebagaimana yang akan kita simak dengan jelas dari fatwa keduanya.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin v dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/178) cetakan Darul Atsar, berkata: “Bagaimana menurut kalian tentang sebagian obat-obatan yang ada pada masa ini yang mengandung alkohol, terkadang digunakan pada kondisi darurat?
Kami nyatakan: Menurut kami, obat-obatan ini tidak memabukkan seperti mabuk yang diakibatkan oleh khamr, melainkan hanya berefek mengurangi kesadaran penderita dan mengurangi rasa sakitnya. Jadi ini mirip dengan obat bius yang berefek menghilangkan rasa sakit (sehingga penderita tidak merasakan sakit sama sekali) tanpa disertai rasa nikmat dan terbuai.
Telah diketahui bahwa hukum yang bergantung pada suatu ‘illah5, jika ‘illah tersebut tidak ada maka hukumnya pun tidak ada. Nah, selama ‘illah suatu perkara dihukumi khamr adalah “memabukkan”, sedangkan obat-obatan ini tidak memabukkan, berarti tidak termasuk kategori khamr yang haram. Wallahu a’lam. Wajib bagi kita untuk mengetahui perbedaan antara pernyataan: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram” dengan pernyataan: “Sesuatu yang memabukkan dan dicampur dengan bahan yang lain maka haram.” Karena pernyataan yang pertama artinya minuman itu sendiri (adalah merupakan khamr), apabila anda minum banyak tentu anda mabuk, dan apabila anda minum sedikit maka anda tidak mabuk, namun Rasulullah n mengatakan “Sedikitnyapun haram.” (Kenapa demikian padahal yang sedikit tersebut tidak memabukkan?) Karena itu merupakan dzari’ah (artinya bahwa yang sedikit itu merupakan wasilah/ perantara yang akan menyeret pelakunya sampai akhirnya dia minum banyak, sehingga diharamkan). Adapun mencampur dengan bahan lain dengan perbandingan kadar alkoholnya sedikit sehingga tidak menjadikan bahan tersebut memabukkan maka yang seperti ini tidak mengubah bahan tersebut menjadi khamr (yang haram). Jadi ibaratnya seperti benda najis yang jatuh ke dalam air (tapi kadar najisnya sedikit) dan tidak menajisi (merusak kesucian) air tersebut (karena warna, bau, ataupun rasanya tidak berubah) maka air tersebut tidak menjadi najis karenanya (tetap suci dan mensucikan).”
Asy-Syaikh Al-Albani v ketika ditanya tentang berbagai parfum atau minyak wangi yang mengandung alkohol, maka beliau menjawab: “Apabila kadar alkohol yang terkandung di dalamnya menjadikan parfum-parfum yang harum itu sebagai cairan yang memabukkan, dalam arti kalau diminum oleh seorang pecandu khamr dan ternyata memberi pengaruh seperti pengaruh khamr (yaitu mengakibatkan dia mabuk, maka parfum-parfum tersebut hukumnya tidak boleh (haram untuk digunakan). Adapun jika kadar alkoholnya sedikit (dalam arti tidak mengubah parfum-parfum tersebut menjadi memabukkan) maka hukumnya boleh. (Kaset Silsilatul Huda wan Nur)
Kemudian kita akhiri pembahasan ini dengan fatwa Asy-Syaikh Al-Albani v yang sangat rinci. Beliau v berkata: “Untuk memahami makna hadits:

مَا أَسْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram.”
Mari kita mendatangkan contoh: Kalau ada 1 liter air yang mengandung 50 gram bahan memabukkan yang kita namakan alkohol, maka cairan ini –yang tersusun dari air dan alkohol– berubah menjadi memabukkan. Namun jika seseorang minum sedikit maka dia tidak akan mabuk. Lain halnya jika dia minum dengan kadar yang lazim diminum oleh seseorang maka dia akan mabuk, dengan demikian menjadilah yang sedikit tadi haram. Sebaliknya, kalau ada 1 liter air mengandung 5 gram alkohol (misalnya). Jika seseorang minum 1 liter air tersebut sampai habis dia tidak mabuk, maka yang seperti ini halal untuk diminum.
Selanjutnya, apakah boleh bagi seorang muslim mengambil 1 liter air kemudian menumpahkan 5 gram alkohol ke dalamnya dengan alasan bahwa 5 gram alkohol tersebut tidak mengubah 1 liter air yang ada menjadi memabukkan?
Jawabannya: Tidak boleh. Kenapa tidak boleh? Karena tidak boleh bagimu untuk memiliki bahan yang memabukkan yang merupakan inti dari khamr, yaitu alkohol. Jadi kegiatan mencampur alkohol dengan bahan lain tidak boleh dalam syariat Islam…
Telah kami nyatakan bahwa obat-obatan yang ada di apotek-apotek pada masa ini –bahkan boleh jadi kebanyakannya– mengandung alkohol, atau tertera padanya tulisan perbandingan kadar alkoholnya: 5 gram, 10 gram… Apakah kita mengatakan bahwa obat-obatan ini jika diminum seorang sehat ataupun sakit dengan kadar yang banyak dan ternyata dia mabuk, berarti tidak boleh digunakan karena memabukkan, meskipun dia hanya menelan 1 sendok saja? Inilah yang dimaksudkan dengan hadits “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram.” Adapun jika perbandingan alkoholnya sedikit –dalam arti berapapun yang dia minum tidak menjadikannya mabuk– maka boleh menggunakannya, meskipun dia minum banyak.
Namun perkara lain (yang penting untuk diingat) sama dengan apa yang telah saya sebutkan sebelumnya, bahwa obat-obatan yang mengandung alkohol dengan perbandingan yang tidak melanggar syariat sesuai dengan rincian yang disebutkan, tidak boleh bagi seorang apoteker muslim untuk meracik obat yang seperti itu. Karena tidak boleh ada alkohol di rumah seorang muslim ataupun di tempat kerjanya. Haram baginya untuk membelinya atau membuatnya sendiri. Dan ini perkara yang jelas karena Rasulullah n bersabda:

لَعَنَ اللهُ فِي الْخَمْرِ عَشَرَةً...

“Allah melaknat 10 jenis orang karena khamr…”7
Seorang apoteker yang hendak meracik obat dan mencampurnya dengan alkohol yang memabukkan itu, baik dengan cara membuat alkohol sendiri (dengan proses pembuatan tertentu) atau membeli alkohol yang sudah jadi, termasuk dalam salah satu dari 10 jenis orang yang dilaknat dalam hadits tersebut.
Lain halnya apabila seseorang membeli obat yang sudah jadi, dengan kadar alkohol yang rendah yang tidak menjadikan banyaknya obat tersebut memabukkan, maka ini boleh.” (Kaset Silsilatul Huda wan Nur)
Dan kami memandang bahwa pendapat Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsamin v dan Asy-Syaikh Al-Albani v, lebih dekat kepada kebenaran.
Wallahu a’lam.

1 Perlu diketahui bahwa alkohol (alkanol) ada beberapa golongan. Di antaranya etanol (inilah yang dijadikan sebagai zat pelarut, bahan bakar, atau zat asal untuk preparat-preparat farmasi, dan sebagian besar digunakan untuk minuman keras), spiritus, dsb., sebagaimana diterangkan dalam buku-buku kimia dan farmasi.
2 Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dari Jabir bin Abdillah c. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (1/160-161). Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, dan beliau menshahihkannya dengan syawahidnya dari beberapa shahabat yang lain (Al-Irwa‘, 8/42-43).
3 ‘Illah suatu hukum adalah sebab penentu suatu perkara memiliki hukum tersebut.
4 Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (1318) dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil v dalam kitabnya Ash-Shahihul Musnad (1/57) dan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi. Hadits yang semakna dengan hadits ini juga diriwayatkan dengan lafadz
لَعَنَ اللهُ ...
(Allah melaknat…) dari Ibnu ‘Umar c, oleh Ath-Thahawi, Al-Hakim, dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dengan keseluruhan jalan-jalannya dalam Al-Irwa` (5/365-367).
5 Lihat catatan kaki no. 3
6 Lihat haditsnya secara lengkap pada fatwa Asy-Syaikh Muqbil di halaman sebelumnya.

http://asysyariah.com/print.php?id_online=312)
http://darussalaf.or.id/stories.php?id=144

Membasahi Lisan, Menyejukan hati

Kedamaian hati adalah dambaan setiap jiwa. Ketika hati seseorang terasa tenang dan tentram, maka jiwanya terasa ingin terbang jauh ke angkasa melintasi awan putih, lalu rebah di atasnya dengan penuh rasa bahagia. Dadanya terasa lega dan longgar tanpa ada beban sama sekali. Alangkah bahagianya si pemilik hati yang tentram dan damai.

Namun kedamaian hati itu bukanlah menghambur-hamburkan uang, mencari ketenangan di tempat-tempat wisata yang terkenal, bar-bar, discotik, mall, dan hotel-hotel yang berbintang. Bukanlah kedamaian itu dengan bersenandung, melantunkan lagu yang bernuansa romantis atau pula mengingat para artis, bintang sepak bola dan para pelawak yang kerjanya Cuma ngelaba di depan lensa cembung.

Betapa banyak selebritis-selebritis dunia yang mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis, yaitu membunuh dirinya sendiri. Padahal bersamaan dengan hal itu, mereka memiliki kekuasaan, ketenaran dan harta yang melimpah. Namun semua itu tidak dapat memberi kebahagiaan bagi jiwa mereka. Hati mereka meronta ingin lepas dari belenggu –belenggu kehidupan yang fana dan jiwanya terasa kering kerontang tanpa ada setetes embun keimanan yang menyiraminya. Mereka merasa hampa di tengah ramainya kerumunan para penggemarnya. Hal ini disebabkan karena tebalnya dosa yang telah menyelimuti hati. Sebagaimana firman Allah -Azza wa Jalla- ,

"Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka". (QS. Al-Muthoffifin: 14 ).

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-,

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيْئَةً نُكْتَتْ فِيْ قَلْبِهِ نُكْتَةً سَوْدَاءَ, فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيْدَ فِيْهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ

"Sesungguhnya seorang hamba jika melakukan suatu dosa, maka dosa itu menjadi titik hitam di dalam hatinya. Jika dia bertaubat dan mencabut serta berpaling (dari perbuatannya) maka mengkilaplah hatinya. Jika ia mengulanginya, maka titik hitam itupun bertambah hingga memenuhi hatinya." [HR. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (3334), dan Ibnu Majah Sunan-nya (4244). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (1620)]

Allah Yang Maha Penyayang telah memberikan solusi kepada para hamba-Nya untuk membersihkan noda-noda maksiat yang menutupi hati mereka, sehingga hati mereka menjadi suci dan tenang. Kesucian dan kedamaian hati itu akan didapatkan dengan ber-dzikir (ingat) kepada Allah -Subhanahu wa Ta’la-, baik dengan lisan, hati, dan anggota badan.

Dengan cara inilah seseorang akan merasakan manisnya iman, kebahagiaan hidup dan kedamaian yang tiada taranya. Dimana kedamaian tersebut akan menjadi istana yang megah di dalam hatinya saat suka maupun duka, senang maupun susah, resah dan gelisah; hatinya senantiasa tertambatkan hanya untuk mengingat Allah -Subhanahu wa Ta’la- dan lisannya selalu basah melantunkan lafazh-lafazh yang mulia dengan penuh rasa harap dan takut hanya kepada-Nya. Allah -Subhanahu wa Ta’la- berfirman,

“(Yaitu) orang -orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah .Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” ((QS. Ar-Ra’d:28 ).

Dengan senantiasa ber-dzikir (ingat) kepada Allah, maka ketentraman hati, keutamaan dan pahala yang besar telah menanti di depan mata. Inilah amalan yang banyak dilalaikan oleh kebanyakan manusia pada hari ini. Mereka telah disibukkan oleh dunia, pekerjaan dan keluarganya. Padahal amalan ini sangat ringan di lidah namun memiliki keutamaan yang luar biasa.

Allah –Ta’ala- berfirman,

“L aki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (mengingat) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” ( QS. Al-Ahzab: 35)

Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- bersabda,

كَلِمَتَانِ خَفِيْفَتَانِ عَلَى اْللِسَانِ ، ثَقِيْلَتَانِ فِيْ المِيْزَانِ ، حَبِيْبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ : سُبْحَانَ اللهِ وَ بِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللهِ اْلعَظِيْم

“Ada dua kalimat yang ringan bagi lisan, tapi berat dalam timbangan, dan dicintai oleh Ar- Rahman (Allah), yaitu subhanallahu wa bihamdihi dan subhanallahil ‘adzhim.”[HR. Al-Bukhari (6404 dan Muslim (6786)].

Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- juga bersabda,

أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ وَ أَزْكَاهَا عِنْدَ مََلِيْكِكُمْ وَ أَرْفَعِهَا فِيْ دَرَجَاتِكُمْ وَ خَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ اْلذَّهَبِ وَ اْلفِضَّةِ وَ خَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ وَ يَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ؟ قَالُوْا : بَلَى . قَالَ: ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى .

“Maukah kalian aku tunjukkan pada suatu amalan, yang paling baik dan paling suci di sisi Pemilik kalian (yakni, Allah), paling tinggi dalam mengangkat derajat kalian dan lebih baik bagi kalian daripada menginfakkan emas dan perak, serta lebih baik bagi kalian daripada kalian bertemu dengan musuh kalian, lalu kalian memenggal leher-leher mereka dan mereka memenggal leher-leher kalian???” Para sahabat menjawab, ”Tentu, wahai Rasulullah!” Beliau -Shallallahu ‘ Alaih Wa Sallam- bersabda, “(Amalan itu adalah) dzikir kepada Allah.” [HR. At-Tirmidzi (3377) dan Ibnu majah (3790) dan di-shohih-kan oleh syaikh Albaniy dalam Shohihul Jami’ (no. 2629)]

Dikatakan kepada Abu Darda’ -radhiyallahu anhu-, ”Seorang lelaki telah membebaskan seratus budak.” Beliau -radhiyallahu anhu- mengomentari, ”Seratus budak dari harta seseorang adalah sesuatu yang banyak. Yang lebih utama dari itu adalah keimanan yang senantiasa ada di malam dan siang hari, dan lisan salah seorang diantara kalian yang senantiasa basah karena berdzikir (mengingat) Allah -Azza wa Jalla-”.

Ibnu Mas’ud-radhiyallahu anhu- berkata, ”Aku bertasbih menyucikan Allah -Azza wa Jalla- beberapa kali lebih aku sukai daripada aku menginfakkan dinar sejumlah itu di jalan Allah”.

Salman Al-Farisi-radhiyallahu anhu- pernah ditanya, ”Amal apakah yang paling Afdhal?” Beliau -radhiyallahu anhu- menjawab, ”Tidakkah engkau membaca Al-Qur’an:

“Dan sesungguhnya dzikrullah (mengingat Allah) adalah lebih besar” (QS. Al-Ankabut: 45) . [Lihat Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar, karya Syaikh Abdur Razzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr (hal. 33-34, dan 38) sebagaimana dalam majalah Asy-Syariah (vol.IV/no.42/1429H/2008)]

Demikianlah kemurahan dan kemudahan dari Allah bagi umat Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam-. Allah - Subhana Wa Ta’ala- memberi mereka umur yang pendek dibandingkan dengan umat-umat terdahulu, namun mereka diberi amalan yang ringan dan mudah. Amalan yang mudah dan ringan tersebut diberi balasan dengan pahala yang sangat besar. Mereka adalah umat yang terakhir, namun yang pertama masuk ke dalam surga.

Walaupun keistimewaan umat Islam besarnya seperti ini, tapi banyak orang yang tak menjadikannya sebagai motivasi dalam menambah kesyukuran. Jangankan ber-dzikir, sholat saja ditinggalkan demi dunia yang fana!! Kehidupan dunia terlalu memikat kebanyakan dari mereka. Mata mereka tersilaukan dengan keindahan dan gemerlapnya kehidupan dunia, sehingga membuat mereka lupa dari mengingat Allah yang telah menciptakan, memelihara dan melimpahkan nikmat-Nya yang tak terhitung kepada mereka. Padahal Allah -Azza wa Jalla- telah mengingatkan dalam firman-Nya,

“ Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi. ” (QS. Al-Munafiqun: 9)

Ayat di atas dengan jelas mengabarkan bahwa orang yang lalai dari mengingat Allah, ia akan merugi di dunia terlebih lagi di akhirat. Ia akan sangat menyesali waktu yang ia sia-siakan dari berdzikir kepada Allah -Azza wa Jalla- sebagaimana Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- juga telah mengingatkan,

مَا مِنْ سَاعَةٍ تَمُرُّ بِابْنِ آدَمَ لاَ يَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى فِيْهَا إِلاَّ تَحَسَّرَ عَلَيْهَا يَوْمَ اْلقِيَامَةِ

“Tidak ada suatu waktu pun yang terluputkan dari anak adam untuk berdzikir kepada Allah kecuali ia akan menyesali waktu tersebut pada hari kiamat” . [HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (508). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam ShahihulJami’ (5720)].

Pembaca yang mulia, ingatlah bahwa kehidupan dunia akan berakhir dan hari pembalasan kan menjelang. Siapkanlah amal kebaikanmu sebanyak-sebanyaknya selama engkau di dunia ini. Sebab, amal kebaikan itu akan menjadi bekalmu yang akan membantumu dalam meniti perjalanan yang panjang dan berat di akhirat. Janganlah engkau terlena dengan gemerlapnya kehidupan dunia dan janji-janji kosong setan hingga engkau pun termasuk dalam deretan orang-orang yang merugi lagi menyesal. Oleh karenanya, Allah dan Rasul-Nya telah memperingatkan kita untuk memperbanyak amalan shalih selama di dunia. Allah -Azza wa Jalla- telah mengingatkannya dalam firman-Nya,

“ Supaya jangan ada orang yang mengatakan: "Amat besar penyesalanku atas kelalaianku terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah ). ” (QS. Az-Zumar: 56).

Ketahuilah, orang yang berpaling dari berdzikir (mengingat) Allah -Subhanahu wa Ta’la-, ia bagaikan mayat yang berjalan di muka bumi; setan akan menjadi pendampingnya serta akan mematikan hatinya. Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda,

مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

”Perumpamaan orang-orang yang berdzikir (mengingat) Rabbnya, dan orang-orang yang tidak berdzikir (mengingat) Rabbnya adalah seperti (orang) yang hidup dan mati." [HR. Al-Bukhari dalam Kitab Ad-Da'awaat (6407)].

Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

“ Barangsiapa yang berpaling dari berdzikir kepada Allah yang Maha Pemurah, kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan), maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. ” (QS. Az-Zukhruf: 36).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah-rahimahullah- berkata, ”perandaian dzikir bagi hati adalah seperti air bagi ikan. Apa jadinya keadaan ikan tanpa air ?? ” [Lihat Al-Wabilus Shayyib hal. 84. cet. Daar Ibnul Jauzy].

Oleh karenanya, seyogyanya bagi kita untuk memperhatikan perkara ini. Sebab, waktu berjalan terus dan catatan amalanpun takkan berhenti. Barangsiapa yang banyak catatan kebaikannya, maka ia adalah orang yang bahagia. Barangsiapa yang banyak catatan amalan kejelekannya, maka ia orang yang merugi lagi celaka. Jika seseorang senantiasa berdzikir, maka Allah tidak akan meninggalkan dan membiarkannya. Sebab Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

“ Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. ” (QS. Qoof: 18).

Al-Hafizh Ibnu Katsir-rahimahullah- menukilkan perkataan Ibnu Abbas -radhiyallahu anhu- tentang ayat diatas, “Malaikat itu mencatat setiap apa yang di ucapkannya berupa kebaikan ataupun kejelekan.”[Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim (7/308)]

Marilah kita membasahi lisan-lisan kita dengan dzikrullah agar ketentraman, kedamaian dan keberuntungan senantiasa menyertai kita baik di dunia, maupun di akhirat kelak. Sebab Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

“ Dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung .” (QS. Al-Anfal: 45)

Ingatlah Allah, niscaya Allah akan mengingatmu. Ingatlah Allah di waktu senangmu, niscaya Allah akan mengingatmu dikala susahmu. Janganlah engkau ragu kepada janji Allah. Sebab, Allah sudah memastikannya dalam firman-Nya,

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152).

Pembaca yang budiman, tentunya untuk mengamalkan dzikir-dzikir dalam kehidupan sehari-hari harus yang warid (datang) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah (hadits yang shahih), karena betapa banyak orang-orang yang berdzikir sampai terisak-isak, meraung-raung sambil berlinang air matanya, akan tetapi amalannya sia-sia belaka. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

"Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak pernah kami perintahkan, maka amalan tersebut tertolak". [HR. Muslim]

dicopi dari almakassari.com