Minggu, 15 Agustus 2010

Hal-Hal yang Dianggap Membatalkan Puasa

Ada sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa. Di antaranya memang ada yang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara para ulama, namun ada pula hanya sekedar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak dibangun di atas dalil.
Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan -cetakan pertama dari penerbit Adhwaa’ As-salaf- yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.
Di antara faidah yang bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:
1. Bahwa orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, maka tidaklah batal puasanya. Begitu pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya seperti orang yang menjalankan sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa, berkata: “Dan pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya, ingat (tidak dalam keadaan lupa) dan bermaksud melakukannya (bukan karena terpaksa).” Kemudian beliau t membawakan beberapa dalil, di antaranya hadits yang menjelaskan bahwa Allah k telah mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Allah janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena tidak tahu).” (Al-Baqarah: 286)
(Hadits yang menjelaskan hal tersebut ada di Shahih Muslim).
Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat An-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya hukum kekafiran terhadap orang yang melakukan kekafiran karena dipaksa. Maka hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang berhubungan dengan pembatal-pembatal puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/426-428)

Dan yang dimaksud oleh Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin t adalah apabila orang tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu, wallahu a’lam. Sehingga orang yang merasa dirinya teledor atau lalai karena tidak mau bertanya, tentu yang lebih selamat baginya adalah mengganti puasanya atau ditambah dengan membayar kaffarah bagi yang terkena kewajiban tersebut. (Lihat fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz t di dalam Fatawa Ramadhan, 2/435)
2. Orang yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja) tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:

مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

“Barang siapa yang muntah karena tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengganti puasanya. Dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti puasanya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani t di dalam Al-Irwa’ no. 930)
Oleh karena itu, orang yang merasa mual ketika dia menjalankan puasa, sebaiknya tidak berusaha memuntahkan apa yang ada dalam perutnya dengan sengaja, karena hal ini akan membatalkan puasanya. Dan jangan pula dia menahan muntahnya karena inipun akan berakibat negatif bagi dirinya. Maka biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya karena hal tersebut tidak membatalkan puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/481)
3. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Ibnu Baz t:
“Tidak mengapa untuk menelan ludah dan saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak maka wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”
4. Keluar darah bukan karena keinginannya seperti luka atau karena keinginannya namun dalam jumlah yang sedikit tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin t dalam beberapa fatwanya:
a. “Keluarnya darah di gigi tidaklah mempengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak ditelan…”.
b. “Pengetesan darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya maka tidak apa-apa…”.
c. “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak apabila berakibat dengan akibat yang sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya)…” (Fatawa Ramadhan, 2/460-466).
Maka orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena dicabut atau karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia tidak boleh menelan darah yang keluar itu dengan sengaja. Begitu pula orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan darahnya tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam (yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).
Meskipun terjadi perbedaan pendapat yang cukup kuat dalam masalah ini, namun yang menenangkan tentunya adalah keluar dari perbedaan pendapat. Maka bagi orang yang ingin melakukan donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari, karena pada umumnya darah yang dikeluarkan jumlahnya besar. Kecuali dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari dan yang lebih hati-hati adalah agar dia mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan.
5. Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman. Berbeda halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena dia berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat apakah mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan hidung, ataukah bukan. Namun wallahu a’lam yang benar adalah bahwa keduanya bukanlah saluran yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan. Maka obat yang diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa. Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak mengapa baginya untuk mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan. (Fatawa Ramadhan, 2/510-511)
6. Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa apabila tidak sampai keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi. Rasulullah n bersabda dalam sebuah hadits shahih yang artinya:
“Dahulu Rasulullah n mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam kitab Al-Irwa, hadits no. 934)
Akan tetapi bagi orang yang khawatir akan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekedar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah n bersabda:

... يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي ...

“(orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.” (Shahih HR. Muslim)

Dan juga beliau n bersabda:

دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يُرِيْبُكَ

“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai, dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t di Al-Irwa)

7. Bagi laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar rumah dengan memakai wewangian. Namun bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisalnya, maka tidak boleh untuk menghirupnya atau menghisapnya. Juga diperbolehkan baginya untuk menggosok giginya dengan pasta gigi kalau dibutuhkan. Namun dia harus menjaga agar tidak ada yang tertelan ke dalam tenggorokan, sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya untuk berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan tidak terlalu kuat agar tidak ada air yang tertelan atau terhisap. Namun seandainya ada yang tertelan atau terhisap dengan tidak sengaja, maka tidak membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits:
“Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani t di Al-Irwa, hadits no. 935)
8. Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan badannya dengan air untuk mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh pula untuk berenang di air dengan selalu menjaga agar tidak ada air yang tertelan ke tenggorokan.
9. Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk ke kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas c dalam sebuah atsar:

لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ وَالشَّيْءَ يُرِيْدُ شَرَاءَهُ

“Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang dia akan membelinya.” (Atsar ini dihasankan As-Syaikh Al-Albani t di Al-Irwa no. 937)

Demikian beberapa hal yang bisa kami ringkaskan dari penjelasan para ulama. Yang paling penting bagi setiap muslim, adalah meyakini bahwa Rasulullah n tentu telah menjelaskan seluruh hukum-hukum yang ada dalam syariat Islam ini. Maka, kita tidak boleh menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan semata. Bahkan harus mengembalikannya kepada dalil dari Al Qur`an dan As Sunnah dan penjelasan para ulama.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Romadhon Yang Kurindu

Romadhon sudah diambang pintu. Semua lapisan masyarakat muslim menyambut datangnya bulan penuh berkah ini dengan segala kegembiraan, dan suka cita. Wajah-wajah mereka ceria karena kerinduan yang mendalam ingin bertemu dengan "Bulan Romadhon" ; ingin mengisi hari-hari berkah ini dengan amal sholeh, baik itu berupa sholat tarawih, membaca Al-Qur’an, bershodaqoh, berdzikir, membantu kaum muslimin, memberi makan para fakir-miskin, menyiapkan buka puasa, dan sebagainya.

Para pembaca yang budiman, agar Romadhon semakin indah dan bernilai di sanubari kita, alangkah baiknya jika kita mengetahui dan mengkaji bersama diantara fadhilah dan keutamaan bulan suci nan berkah ‘Romadhon’. Keutamaan dan fadhilah Romadhon telah dibeberkan oleh Allah dan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dalam Al-Qur’an dan Sunnah sebagai berikut:

* Bulan Al-Qur’an

Satu perkara yang sulit dilupakan oleh kaum muslimin bahwa Al-Qur’an turun di bulan Romadhon, tepatnya malam Lailatul Qodar. Allah menurunkan Al-Qur’an di bulan suci ini karena keutamaan yang tinggi baginya, dan hikmah. Allah -Ta’ala- berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Romadhon, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pembeda (antara yang haq dengan yang batil)". (QS. : Al-Baqoroh: 185 )

Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata, "Allah -Ta’ala- memuji Bulan Puasa (Romadhon) diantara bulan-bulan lainnya dengan memilih Romadhon diantara bulan-bulan itu untuk diturunkan Al-Qur’an yang agung (di dalamnya); sebagaimana halnya Dia mengkhususkan Romadhon dengan hal itu, maka sungguh ada sebuah hadits datang (menyebutkan) bahwa Romadhon adalah bulan yang diturunkan di dalamnya Kitab-Kitab Allah kepada para nabi ". [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1/292)]

Sebagai penguat bagi ucapan Ibnu Katsir -rahimahullah- , Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda ,

أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيْمَ أَوَّلَ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لِسِتٍ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ وَأُنْزِلَ الْإِنْجِيْلُ لِثَلَاثَ عَشْرَةَ لَيْلَةً خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَأُنْزِلَ الزَّبُوْرُ لِثَمَانِ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَأُنْزِلَ الْقُرْآنُ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِيْنَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ

"Shuhuf Ibrahim diturunkan di malam pertama Romadhon; Taurat diturunkan pada 7 Ramadhan; Injil diturunkan pada 14 Ramadhan; Zabur diturunkan pada tanggal 19 Ramadhan; Al-Qur’an diturunkan pada 25 Ramadhan". [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/107), Abdul Ghoniy Al-Maqdisiy dalam Fadho'il Romadhon (53/1), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (2/167/1). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih As-Siroh (hal.90)]

Faedah : Hadits ini merupakan bantahan -dari segi sejarah- atas orang yang meyakini bahwa Nuzulul Qur’an pada tanggal 17 Romadhon !!! Adapun bid’ahnya Nuzulul Qur’an, maka akan datang pembahasannya, Insya Allah!

* Bulan Pengampunan Dosa

Setiap mukmin amat mengharapkan ampunan dosa dari Allah, karena ia tahu bahwa hisab di hari akhir amat dahsyat. Dengan kehadiran Romadhon, kesempatan besar untuk bertaubat, dan mendapatkan ampunan sangat lebar. Amat celakalah seorang yang memasuki Romadhon, tapi ia enggan bertaubat dan beramal sholeh yang akan menjadi sebab dosanya diampuni.

Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ارْتَقَى الْمِنْبَرَ فَقَالَ آمِيْنَ آمِيْنَ آمِيْنَ فَقِيْلَ لَهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا كُنْتَ تَصْنَعُ هَذَا فَقَالَ قَالَ لِيْ جِبْرَائِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ فَقُلْتُ آمِيْنَ

"Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- naik ke atas mimbar seraya bersabda, "Amiin…amiin…amiin". Beliau ditanya, "Wahai Rasulullah, engkau tidak pernah melakukan seperti ini". Belaiu menjawab, "Jibril -alaihis salam- berkata kepadaku, "Semoga kecelakaan bagi seorang hamba yang didatangi oleh bulan Romadhon, namun tidak diberi ampunan", maka saya pun berkata, "Amiin". [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shohih-nya (3/192), Ahmad dalam Al-Musnad (2/246 & 254), dan Al-Baihaqiy dalam As-Sunan (4/204). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Adab Al-Mufrod (646)]

Jadi, seorang yang mau diampuni dosanya, harus menutupi dosanya dengan amal sholeh di bulan suci ini, seperti membaca Al-Qur’an, mendengarkan ceramah, puasa, dan sholat tarawih; bukan berhura-hura, dan menghabiskan waktu dalam perkara sia-sia, apalagi haram, seperti bermain kartu di bulan Romadhon, ludo, ular tangga, berdusta, berbicara tabu, berzina, dan lainnya.

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barangsiapa yang berpuasa di bulan Romadhon karena beriman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang lalu" . [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (1802), dan Muslim dalam Shohih-nya (175)

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy-rahimahullah- berkata, "Jika bulan Romadhon telah sempurna, maka sungguh puasa, dan sholat malam telah lengkap bagi orang beriman. Maka terjadilah baginya pengampunan dosanya yang lampau dengan sempurnanya dua sebab tersebut, yaitu puasa, dan sholat malamnya". [Lihat Latho'if Al-Ma'arif (hal.232)]

* Bulan Pengabulan Do’a & Pembebasan dari Siksa Neraka

Seseorang terkadang susah menemukan kondisi yang mustajab sehingga doanya dikabulkan oleh Allah. Namun Allah sebagai Pemberi Nikmat bagi para hamba-Nya yang beriman telah menyiapkan waktu mustajab untuk berdo’a.

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

إِنَّ لِلَّهِ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ عُتَقَاءَ مِنَ النَّارِ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةً يَدْعُوْ بِهَا فَيُسْتَجَابُ لَهُ

"Sesungguhnya Allah pada setiap hari dan malam di bulan Romadhon memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka; sesungguhnya setiap muslim memiliki do’a yang ia berdo’a dengannya,lantaran itu do’anya dikabulkan". [HR. Al-Bazzar dalam Al-Musnad (3142), dan Ahmad dalam Al-Musnad (2/254). Syaikh Ali bin Hasan Al-Atsariy men-shohih-kan hadits ini dalam Shifah Ash-Shoum (hal.24)]

Wahai Pembaca Budiman, manfaatkanlah kesempatan ini dalam memperbanyak do’a, mengadu, dan bermunajat kepada Allah Robbul Alamin di sepanjang bulan Romadhon. Semoga setitik air mata penyesalan, dan takut akan menyelamatkan dirimu dari siksa neraka sebagaimana yang dijanjikan oleh Nabimu -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits ini.

* Setan-setan dan Jin Durhaka Dikerangkeng; Pintu Surga Dibuka, dan Pintu Neraka Ditutup

Saking mulia dan sucinya bulan Romadhon, Allah mengikat para setan, dan jin yang durhaka; pintu-pintu surga dibuka, dan neraka ditutup.

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتْ الشَّيَاطِيْنُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِيْ مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ

"Jika malam pertama Romadhon datang, maka setan-setan, dan jin-jin durhaka dibelenggu; pintu-pintu neraka ditutup. Maka tak ada satu pintu(nya) pun yang terbuka; pintu-pintu surga dibuka. Maka tak ada suatu pintu pun yang ditutup; Seorang pemanggil memanggil,"Wahai pencari kebaikan, menghadaplah; wahai pencari kejelekan, berhentilah". Allah memiliki hamba-hamba yang dimerdekakan dari neraka. Demikian itu pada setiap malam". [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (682), dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1642). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (1960) ]

Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr Al-Andalusiy-rahimahullah- berkata dalam At-Tamhid (7/310), "Makna hadits ini menurut saya –Cuma Allah yang lebih tahu-: Allah melindungi di dalamnya kaum muslimin, atau dominannya dari maksiat-maksiat. Jadi, setan tidak akan bebas datang kepada mereka sebagaimana mereka bebas datang di sepanjang tahun".

Ingat !! Namun kalian jangan menyangka bahwa setan ketika itu tak akan menggoda dirimu. Ketahuilah, ia akan tetap menggodamu, walaupun tidak segencar di bulan lain. Isilah hari-harimu dengan ketaatan, jangan mendekati jalan-jalan kemaksiatan sehingga engkau akan selamat darinya. Didiklah dirimu di bulan ini menjadi hamba yang taat, bukan hamba yang durhaka. Jika tidak, maka engkau akan menjadi bahan bakar Jahannam. Na’udzu billah minannar.

* Di dalam Romadhon Terdapat Lailatul Qodar

Diantara keistimewaan umat Islam dibandingkan umat-umat terdahulu, "sedikit amal, banyak pahala". Dahulu mereka melaksanakan sholat dan puasa dengan aturan yang berat, tapi pahala sedikit. Adapun umat Islam, diberikan fasilitas waktu, dan tempat untuk melipatgandakan amalan ringan, seperti dalam surat ini:

Allah -Ta’ala- berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan (Lailatul Qodar). Dan tahukan kamu apa malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dibandingkan seribu bulan. Pada malam itu, para malaikat, dan Jibril turun dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar". (QS. Al-Qodr: 1-5)

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لِلَّهِ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

"Allah memiliki di bulan Romadhon suatu malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Barang siapa yang dihalangi (dari kebaikannya), maka ia akan dihalangi (dari kebaikan)". [HR. An-Nasa'iy dalam Al-Mujtaba (2106), dan Ahmad dalam Al-Musnad (7148). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (999)]

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barang siapa yang b angun (sholat malam) karena beriman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang lalu" . [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (1802), dan Muslim dalam Shohih-nya (175)]

* Umrah Romadhon Menyamai Haji bersama Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-

Keutamaan umrah seperti ini banyak dilalaikan dan tidak diketahui oleh mayoritas kaum muslimin. Padahal Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

فَإِنَّ عُمْرَةً فِيْ رَمَضَانَ تَقْضِيْ حَجَّةً مَعِيْ

"Sesungguhnya umroh di bulan Romadhon menyamai haji bersamaku". [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (1764), Muslim dalam Shohih-nya (1256) Abu Dawud dalam As-Sunan (1988) At-Tirmidziy dalam As-Sunan (939), Ibnu Majah dalam As-Sunan (2991). Lihat Shohih Al-Jami' (7547) karya Al-Albaniy]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy-rahimahullah- berkata,"Ibnul Arabiy berkata, "Hadits tentang umrah ini adalah hadits shohih. Itu merupakan keutamaan dan nikmat dari Allah. Umrah dapat mencapai derajat haji karena bersatunya Romadhon dengan umrah". Ibnul Jauziy berkata, "Dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa pahala amal bertambah karena kelebihan mulianya waktu sebagaimana ia bertambah dengan kehadiran hati (khusyu’), dan kesucian niat". [Lihat Fathul Bari (3/604)]

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 32 Tahun I

Pintu-Pintu Kebahagiaan

Kebahagiaan adalah kata yang paling enak didengar, indah untuk dibayangkan namun paling pahit untuk diraih. Sebab kebahagiaan sudah menjadi cita-cita yang tertulis di setiap benak manusia. Di setiap pagi, siang, sore maupun malam telah menjadi topik yang hangat untuk selalu dibicarakan. Jika di suatu tempat ada kebahagiaan, maka manusia pun berbondong-bondong menuju kesana walaupun melintasi aral dan duri.

Banyak orang yang berangan-angan dan berkata, “Aku ingin bahagia”, namun ketika dihadapkan kepada jalan menuju kebahagiaan, maka ia berkata, “Itu bukan jalan hidup saya, saya tidak mau menempuh jalan itu, dan berbagai alasan lainnya setelah ia mengetahui bahwa jalan menuju kebahagiaan itu begitu terjal dan dipenuhi dengan onak dan duri. Hal ini menunjukkan bahwa kesungguhannya meraih kebahagiaan hanyalah isapan jempol.

Demikianlah jalan kebahagiaan yang telah digariskan oleh Allah –Ta’ala-, penuh dengan rintangan dan cobaan. Hal ini untuk mengetahui benar tidaknya pengakuan keimanan seorang hamba. Sebagaimana firman Allah –Subhana Wa Ta’ala-,

“(Dialah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa yang paling baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (QS. Al-Mulk: 2)

Namun sayangnya, karena ketidaksabaran dan mengikuti hawa nafsu membuat kebanyakan manusia enggan menempuh jalan kebahagiaan yang telah ditetapkan oleh Allah –Ta’ala-. Jalan-jalan kebahagiaan yang telah dibawa oleh para nabi dan rasul, telah ditinggalkan oleh kebanyakan orang.

Ketika mengajak manusia untuk men-tauhid-kan Allah, menegakkan sunnah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan mentaati para ulama dan penguasa dalam hal yang ma’ruf, maka kita akan mendapatkan perlawanan yang hebat dari kaum muslimin sendiri. Ironinya, justru yang paling keras kebenciannya adalah orang-orang yang dianggap paham agama, karena merasa seruan tersebut sebagai penghalang dakwah dan bertentangan dengan tujuan kelompok.

Oleh karena itu, kali ini buletin akan memaparkan beberapa jalan menuju kebahagian baik di dunia maupun di akhirat berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih :

* Bertaqwa kepada Allah –Ta’ala-

Kata “TAQWA” sering terlintas di telinga kita dari lisan para khotib dihari jum’at. Namun, begitu banyaknya kaum muslimin yang menyepelekannya hingga kehidupannya sangat jauh dari bingkai ketaqwaan.

Lantas apa TAQWA itu? Para ulama telah menjelaskan batasan dan definisi taqwa. Diantaranya, Al-Imam Ar-Roghib Al-Ashfahani mendefenisikan, ”Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa , dengan cara meninggalkan apa yang dilarang, dan hal itu menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan”[Lihat Al-Mufrodat fi Ghoribil Qur’an (hal. 545)].

Al-Imam An-Nawawi mendefenisikan taqwa dengan, ”Mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.”[Lihat Tahrir Alfazh At-Tanbih (hal. 322)].

Oleh karena itu, orang yang tak menjaga dirinya dari perbuatan dosa, dan mengabaikan perintah Allah, maka dia bukanlah termasuk orang yang bertaqwa. Padahal, ketaqwaan itu merupakan kunci kebahagiaannya di dunia dan diakhirat. Allah –Ta’ala- berfirman,

“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberi rezki dari arah yang dia tidak sangka-sangka”(QS. Ath-Thalaq :2-3).

Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, ”Maknanya, barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar serta rezki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas di benaknya.”[Lihat Tafsir Ibnu Katsir (4/400)]

Bahkan Allah – Subhana Wa Ta’ala- menjanjikan bagi orang-orang yang bertaqwa, akan dilimpahkan berkah dari langit dan bumi sebagaimana firman-Nya,

“Jikalau sekiranya penduduk negri-negri itu beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka sendiri” . ( Al-A’raf :96).

Karenanya, setiap orang yang menginginkan kebahagiaan dan keluasan rezki serta kemakmuran hidup, maka hendaknya ia mentaati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Janganlah mencari kebahagian itu dengan cara yang haram bahkan sampai bersusah payah ke dukun, sebab dukun itu sendiri bersusah payah mencari kebahagiaannya dengan cara menipu manusia.

* Bertaubat dan ber-istighfar .

Kebanyakan manusia, menyangka bahwa istighfar dan taubat cukup dengan lisan saja. Sehingga istighfar-nya tidak memberikan pengaruh didalam hatinya dan anggota badannya. Akhirnya, ia tak jujur dalam taubatnya, dan terus larut dalam dosa.

Para ulama telah menjelaskan hakekat taubat dan istighfar. Diantaranya Al-Imam Ar-Roghib Al-Ashfahani menerangkan, ”Dalam istilah syara’, taubat adalah meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali dosa yang telah dilakukannya, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan memperbaiki amalan (yang sholeh) dengan cara mengulanginya. Jika keempat hal itu telah terpenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna”. [Lihat Al-Mufrodat fii Ghoribil Qur’an (hal. 83)]

Al-Imam An-Nawawi berkata,” Para ulama berkata, ”bertaubat dari seluruh dosa hukumnya adalah wajib. Jika dosa itu antara hamba dan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak orang lain, maka syaratnya ada tiga. Pertama, hendaknya ia harus menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia harus menyesali perbuatannya. Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah. Jika taubatnya berkaitan dengan orang lain, maka syaratnya ada empat. Yaitu, ketiga syarat yang telah disebutkan diatas dan ke empatnya, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya, maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau sejenisnya, maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau meminta maaf kepadanya. Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf.”[Lihat Bahjatun Naazirin Syarh Riyadhish Sholihin (hal. 49)]

Pembaca yang mulia, istighfar dan taubat merupakan sebab-sebab kebahagiaan seseorang dan sebab keluarnya karunia Allah –Ta’ala- dari langit dan bumi. Sebagaimana yang telah diucapkan Nabi Nuh –‘alaihi salam- kepada kaumnya di dalam Al-Qur’an,

“Maka aku katakan kepada mereka,’mohonlah ampun kepada Tuhanmu’, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula didalamnya) untukmu sungai-sungai, ”( QS.Nuh :10-12).

Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, ”Maknanya, jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepadanya dan kalian senantiasa mentaatinya, niscaya Dia akan membanyakkan rezki kalian dan menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian, membanyakkan harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang didalamnya terdapat berbagai macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan sungai-sungai diantara kebun-kebun itu (untuk kalian)”(Lihat Tafsir Ibnu Katsir (4/449)]

Begitu besar dan banyaknya buah dari istighfar dan taubat berupa kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Bahkan, barangsiapa yang ingin diberi kebahagiaan yang terus menerus, maka hendaklah selalu beristighfar dan bertaubat berdasarkan firman Allah,

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepadaNya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.”(QS. Hud :3)

Oleh karena itu, seyogyanya bagi seorang muslim untuk senantiasa mengamalkan amalan ini. Sebab, dengan melaksanakannya, Allah akan menjamin kebahagiaannya dan menganugrahkan kenikmatan yang baik sampai pada waktu yang telah ditentukan.

* Berinfaq di Jalan Allah

Infaq atau sedekah merupakan amal kebaikan yang memiliki kedudukan yang tinggi didalam islam. Selain sedekah mendekatkan diri seorang hamba kepada Allah – Subhana Wa Ta’ala-, ia juga makin mempererat hubungan antara sesama manusia. Sebab, sedekah dapat melapangkan kesempitan, menghentikan dari meminta-minta, membantu orang yang lapar menjadi kenyang, memberikan kegembiraan kepada anak kecil, menyenangkn hati orang dewasa dan menciptakan kebahagiaan ditengah-tengah kaum muslimin.

Begitu banyaknya keutamaan sedekah sehingga ia bisa menjadi perisai dari api neraka. Memang wajar jika sedekah menjadi salah satu jalan menuju kebahagiaan. Banyak dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan bahwa orang yang berinfaq di jalan Allah akan diberi ganti oleh Allah di dunia, dan ia akan meraih pahala yang besar di akhirat. Allah – Azza Wa Jalla- berfirman,

“Dan apa saja yang kamu infaq-kan, maka Allah akan menggantinya. Dan Dialah Pemberi rizki sebaik-baiknya.” (QS. Saba’ :39).

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Betapapun sedikitnya apa yang kamu infakkan dari apa yang diperintahkan Allah kepadamu dan apa yang diperbolehkan-Nya, niscaya Dia akan menggantinya untukmu di dunia dan di akhirat engkau akan diberi pahala dan ganjaran”.[Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/595)]

Allah berjanji akan menggantikan apa saja yang diinfakkan di jalan-Nya. Sedangkan janji Allah adalah benar, tak ada keraguan di dalamnya. Karenanya, seyogyanya kaum muslimin berlomba untuk meraihnya, dan jangan takut dan ragu terhadap janji Allah, saat setan menakut-nakutimu dengan kafakiran. Allah - Azza Wa Jalla-berfirman,

“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 268)

Saat menafsirkan ayat mulia ini, Ibnu Abbas -radhiyallahu anhu- berkata, ”Dua hal dari Allah dan dua hal dari setan.”Setan menjanjikan(menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan”. Setan itu berkata, ’jangan kamu infakkan hartamu, peganglah untukmu sendiri karena kamu membutuhkannya’. ”Dan dia menyuruhmu berbuat kajahatan (kikir). Dua hal dari Allah, “Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya”, yakni atas maksiat yang kamu kerjakan, dan “ karunia” berupa rizki. [Lihat Tafsir Ath-Thabari (5/571/ no. 6168).

Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pula telah memberi kabar gembira kepada kaum muslimin agar jangan takut bersedekah. Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدُ لِلّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ

“Sedekah itu tidak mengurangi harta ; Allah tidak menambahkan kepada seorang hamba karena memberi maaf, kecuali kemuliaan; tidaklah seorang merendah hati karena Allah, kecuali derajatnya akan diangkat oleh Allah”. [HR. muslim dalam Kitab Al-Birri (2588)]

Walhasil , inilah beberapa jalan-jalan kebahagiaan yang sempat kami sajikan. Masih banyak jalan-jalan yang belum sempat kami sebutkan karena keterbatasan ruang. Pegang teguhlah amalan-amalan ini, niscaya kalian akan bahagia di dunia dan akhirat. Sebab kebaikan adalah dengan berpegang teguh terhadap sesuatu yang disyari’atkan Allah; keburukan segala-galanya adalah dengan berpaling darinya. Allah -Ta’ala- berfirman,

"Dan barangsiapa berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia ‘Ya Tuhanku, mengapa engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?. Allah berfirman,’Demikianlah, telah dating kepadamu ayat-ayat kami, maka kamu melupakannya dan begitu(pula)pada hari ini kamu pun dilupakan.” (QS. Thoha: 124-126).

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 103 Tahun II.