Senin, 11 April 2011

FATWA KAFIRNYA AHMADIYYAH!!!

Ahmadiyyah adalah gerakan yang mengusung paham kafir, dan gerakan pemurtadan, sebab mereka meyakini bahwa masih ada nabi setelah Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ini adalah paham kafir yang disepakati oleh para ulama’ dan kaum muslimin dari zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sampai hari ini !!

Ahmadiyyah (biasa disebut Qodiyaniyyah) yang berasal dari Negeri Penyembah Sapi (India) telah mengangkat nabi baru alias nabi palsu, yaitu pemimpin mereka sendiri yang bernama Mirza Ghulam Ahmad, seorang kaki tangan penjajah Inggris yang telah menduduki India saat itu.

Ketika mereka mempermaklumkan paham kafir itu, maka serta-merta para ulama di seluruh dunia mengeluarkan fatwa resmi, dan mengadakan pertemuan demi menepis kerancuan dan penyimpangan yang ditimbulkan oleh kelompok kafir itu.

* Fatwa & Pernyataan MUI

Melihat adanya paham kafir yang akan memecah belah masyarakat, maka Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa sebagai berikut nasnya: "Bismillahir Rahmanir Rahim, Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional II, tanggal 11-17 Rajab 1400 H/ 26 Mei-1 Juni 1980 M , di Jakarta memfatwakan tentang Jama’ah Ahmadiyyah sebagai berikut:

* Sesuai dengan data dan fakta yang diketemukan dalam 9 (sembilan) buah buku tentang Ahmadiyyah, Majelis Ulama Indonesia memfatwakan bahwa Ahmadiyyah adalahjama’ah di luar Islam, sesat, dan menyesatkan.
* Dalam menghadapi persoalan Ahmadiyyah hendaknya Majelis Ulama Indonesia selalu berhubungan dengan Pemerintah". [Lihat Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (hal. 96), diterbitkan oleh Bagian Proyek Sarana & Prasarana Produk Halal, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam & Penyelenggara Haji, Departemen Agama RI, 2003 M]

Pembaca yang budiman, kenapa kafir??! Karena mendustakan firman Allah,

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (QS. Al-Ahzab : 40)

Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim (3/650), "Ayat ini adalah nash bahwa tak ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Jika tak ada nabi setelah beliau, maka tentunya tak ada rasul setelahnya, karena jenjang kerasulan lebih khusus dibandingkan dengan jenjang kenabian, karena setiap rasul adalah nabi, dan bukan sebaliknya. Inilah yang tertera dalam hadits-hadits mutawatir dari Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang berasal dari sekelompok sahabat -radhiyallahu ‘anhum-".

Selain itu orang-orang Ahmadiyyah dan pengaku-pengaku kenabian lainnya di zaman ini telah mengingkari hadits-hadits shohih, seperti sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-

فِيْ أُمَّتِيْ كَذَّابُوْنَ وَدَجَّالُوْنَ سَبْعَةٌ وَعِشْرُوْنَ مِنْهُمْ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ وَإِنِّيْ خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ لّا نَبِيَّ بَعْدِيْ

"Di tengah ummatku ada tukang dusta, dan dajjal (jumlahnya) 27 orang, diantara mereka ada empat wanita. Sesungguhnya aku adalah penutup para nabi, tak ada lagi nabi setelahku". [HR. Ath-Thohawiy dalam Musykil Al-Atsar (4/104), Ahmad (5/396/no. 23406), Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (3026), dan Al-Ausath (5582). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1999)]

Muhaddits Negeri Syam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy-rahimahullah- berkata, "Dalam hadits ini terdapat bantahan yang gamblang atas orang-orang Ahmadiyyah Qodiyaniyyah, dan Ibnu Arobi sebelumnya yang berpendapat tentang adanya kenabian setelah Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, dan bahwa nabi gadungan mereka, yaitu Mirza Ghulam Ahmad Al-Qodiyaniy adalah tukang dusta, dan dajjal di antara dajjal dajjal tersebut".[Lihat Ash-Shohihah (4/655)]

Jadi, Mirza Ghulam Ahmad, dan orang-orang Ahmadiyyah adalah orang-orang kafir. Karenanya, MUI dalam Rakernas 1-4 Jumadil Akhir 1404 H/4-7 Maret 1984 M setelah meminta agar Ahmadiyyah dibubarkan, maka MUI menyerukan beberapa hal berikut teksnya,

* Agar Majelis Ulama Indonesia, Majelis Ulama Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, para ulama, dan da’i di seluruh Indonesia, menjelaskan kepada masyarakat tentang sesatnya Jema’at Ahmadiyyah Qodiyaniyyah yang berada di luar Islam.
* Bagi mereka yang telah terlanjur mengikuti Jema’at Ahmadiyyah Qodiyaniyyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang benar.
* Kepada seluruh ummat Islam supaya mempertinggi kewaspadaannya, sehingga tidak akan terpengaruh dengan faham yang sesat itu". [Lihat Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (hal. 96-97), diterbitkan oleh Bagian Proyek Sarana & Prasarana Produk Halal, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam & Penyelenggara Haji, Departemen Agama RI, 2003 M]
* Pernyataan Lembaga Fatwa Kerajaan Saudi Arabia

Pernyataan serupa muncul dari negeri lain, ketika para ulama Kerajaan Saudi Arabia ditanya tentang munculnya agama baru yang bernama Ahmadiyyah alias Qodiyaniyyah, maka para ulama yang tergabung dalam Lembaga Fatwa (Al-Lajnah Ad-Da’imah) di negeri itu mengeluarkan fatwa resmi sebagai berikut nasnya:

"Sungguh telah terbit pernyataan dari Pemerintah Pakistan tentang golongan ini bahwa ia adalah kelompok yang keluar (murtad) dari Islam!! Demikian pula, telah keluar pernyataan yang sama tentang kelompok ini dari Rabithah Alam Islami, di Makkah Al-Mukarramah, dan juga pernyataan dari Muktamar Organisasi-organisasi Islam yang diadakan di Rabithah, tahun 1394 H. Sungguh telah diedarkan risalah yang menjelaskan prinsip golongan ini, bagaimana ia muncul, kapan, dan seterusnya, diantara perkara yang menjelaskan hakikatnya.

Intinya , Ahmadiyyah adalah kelompok yang mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad (seorang berkebangsaan India) adalah seorang nabi yang diberi wahyu; mengakui bahwa tak sah keislaman seseorang sampai ia mau beriman kepadanya. Dia adalah seorang berkelahiran abad ke-13 Hijriyyah.

Allah -Subhanahu- sungguh telah mengabarkan dalam Kitab-Nya yang Mulia bahwa Nabi kita Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah penutup para nabi. Ulama kaum muslimin telah menyepakati hal itu. Barangsiapa yang meyakini bahwa ada nabi yang diberi wahyu dari Allah -Azza wa Jalla- setelah beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, maka ia kafir !! Karena ia telah mendustakan Kitab Allah -Azza wa Jalla-, dan hadits-hadits shohih dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang menunjukkan bahwa beliau adalah penutup para nabi, dan juga menyelisihi ijma’ (kesepakatan) ummat. Wabillahit taufiq, washollallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallam". [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (2/312-313)]

Sebuah pertanyaan pernah dilayangkan ke Lembaga Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (Al-Lajnah Ad-Da’imah) berbunyi, "Apa perbedaan antara kaum muslimin dengan orang-orang Ahmadiyyah?"

Para ulama yang diketuai oleh Al-Allamah Syaikh Abdul Aziz bin Baaz saat itu memfatwakan , "Perbedaan antara keduanya, kaum muslimin adalah orang-orang yang hanya menyembah Allah, dan mengikuti Rasul-Nya Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , dan beriman bahwa beliau adalah penutup para nabi, tak ada lagi nabi setelahnya. Adapun orang-orang Ahmadiyyah, mereka adalah pengikut Mirza Ghulam Ahmad. Mereka ini adalah orang-orang kafir, bukan muslim !! Karena mereka meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi setelah Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . Barangsiapa yang meyakini aqidah (keyakinan) ini, maka ia kafir menurut pernyataan seluruh ulama’ kaum muslimin berdasar firman Allah –Subhanahu-,

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi". (QS. Al-Ahzab : 40)

dan juga berdasarkan hadits yang shohih dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda,

أَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ

"Aku adalah penutup para nabi, tak ada lagi nabi setelahku". [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3535), Muslim dalam Shohih-nya (2286), Abu Dawud dalam Sunan-nya (4252), dan Ahmad dalam Musnad-nya (2/398)]

Wabillahit taufiq, washollallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallam". [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (2/314)]

Sekali lagi , ulama kita di Negeri turunnya wahyu mengeluarkan fatwa sehubungan dengan pertanyaan yang dikirimkan kepada mereka. Penanya meminta penjelasan tentang kedudukan orang Ahmadiyyah yang biasa disebut Qodiyaniyyah. Maka para ulama yang tergabung dalam Lembaga Fatwa KSA (Al-Lajnah Ad-Da’imah) memfatwakan, "Pintu kenabian telah tertutup dengan (datangnya) Nabi kita Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . Jadi tak ada lagi nabi setelah beliau, karenanya tetapnya hal itu dalam Al-Kitab dan Sunnah. Barang siapa yang mengaku nabi setelah itu, maka ia adalah tukang dusta. Diantaranya, Mirza Ghulam Ahmad. Maka pengakuan kenabian bagi dirinya adalah kedustaan, dan sesuatu yang diyakini oleh orang-orang Qodiyaniyyah berupa kenabian Mirza adalah sangkaan yang dusta. Sungguh telah terbit pernyataan dari Hai’ah Kibar Ulama (Majelis Ulama Besar) di Kerajaan Saudi Arabia dalam menganggap orang-orang Qodiyaniyyah adalah kelompok kafir karena alasan tersebut Wabillahit taufiq, washollallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallam". [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (2/313)]

* Nasihat & Peringatan bagi Kaum Muslimin

Terakhir kami ingin ingatkan kepada seluruh kaum muslimin bahwa orang-orang Ahmadiyyah belakangan ini terus menjalankan makarnya untuk memurtadkan kalian dari agama kalian. Sebuah contoh, saat FPI melakukan tindak keras kepada orang-orang Ahmadiyyah, maka orang-orang Ahmadiyyah berusaha membuat opini bahwa mereka adalah orang-orang yang terzholimi, perlu didukung. Sehingga dengan momen ini, Ahmadiyyah berusaha mencari simpati dari kaum muslimin dengan berbagai cara (seperti, membagikan hadiah & shodaqoh di Makasaar). Pada gilirannya, mereka akan tetap kokoh, dan berjalan bebas di Indonesia Raya untuk melakukan aksi perusakan aqidah dan keyakinan sehingga anak bangsa ini akan menjadi murtad !!

Kami juga nasihatkan kepada kaum muslimin agar mempelajari agama yang tertera dalam Al-Qur’an dan Sunnah pada seorang ulama dan ustadz Ahlus Sunnah , bukan dari orang-orang sesat, apalagi kafir seperti Ahmadiyyah. Ilmu agama akan menjadi benteng kokoh dalam menghadapi segala bentuk gelombang, dan serangan aqidah sesat lagi kafir. Inilah rahasianya seorang pemuda di akhir zaman nanti akan kokoh di atas agamanya, karena ia membentengi dirinya dengan ilmu wahyu. Dia tak ragu tentang kebatilan Dajjal Pendusta, bahkan ia dengan berani menyatakan kepada Dajjal dan pengikutnya,

فَإِذَا رَآهُ الْمُؤْمِنُ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ هَذَا الدَّجَّالُ الَّذِيْ ذَكَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Jika Dajjal telah dilihat (dijumpai) oleh Pemuda mukmin ini, maka ia berkata, "Wahai manusia, inilah Dajjal yang pernah disebutkan oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-". [HR. Muslim dalam Shohih-nya (2938)]

Syaikh Salim Ied Al-Hilaliy -hafizhahullah- berkata ketika men-syarah hadits ini, "Seorang muslim hendaknya mengambil cahaya (petunjuk) ketika terjadinya masalah-masalah dari hadits yang shohih dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Maka ia akan sanggup mengenali Dajjal dengan sifat-sifatnya yang tersebut dalam Sunnah yang shohih".[Lihat Bahjah An-Nazhirin (3/288)]

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 72 Tahun II.

Jumat, 08 April 2011

Amanah

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)


Meminjam sesuatu milik teman, kakak atau adik adalah suatu hal yang lumrah terjadi pada anak-anak. Mainan, baju, buku ataupun yang lainnya. Tetapi kadangkala ini menjadi biang keributan, gara-gara barang yang dipinjam pulang dalam keadaan rusak, atau bahkan hilang tak kembali lagi. Jelas, si anak pemilik barang tak akan bisa terima, sementara si peminjam sedikit pun tak merasa terbebani dengan hal ini.

Barangkali kalau kita telusuri ujung pangkal permasalahan yang terjadi di antara anak-anak ini, kita akan menemukan keharusan dan pentingnya mengajari anak untuk memiliki sifat amanah. Mainan yang dia pinjam, barang yang dititipkan, pesan yang disampaikan, adalah amanah yang harus dia jaga sebaik-baiknya. Tak layak, bahkan terlarang disia-siakan.

Dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah k berfirman:

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa`: 58)

Berkenaan dengan ayat ini, Al-Imam Ibnu Katsir t memberikan penjelasan dalam tafsirnya, “Allah l mengabarkan bahwa Dia memerintahkan untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Dalam hadits Al-Hasan dari Samurah z, bahwa Rasulullah n bersabda:

أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ، وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

“Tunaikanlah amanah pada orang yang memberikan amanah itu kepadamu, dan jangan kau khianati orang yang pernah mengkhianatimu.” (HR. Al-Imam Ahmad dan Ahlus Sunan)1

Hadits ini umum, meliputi amanah-amanah yang wajib ditunaikan oleh setiap orang berupa hak-hak Allah k, seperti shalat, zakat, puasa, kaffarah, nadzar, dan yang lainnya, yang dia diberi beban untuk menunaikannya dan tidak perlu dilihat oleh hamba-hamba yang lain, maupun amanah berupa hak-hak hamba yang harus ditunaikan oleh sebagian mereka pada sebagian yang lain, seperti barang titipan dan yang lainnya yang diamanahkan oleh orang lain tanpa pengawasan secara terang-terangan. Allah k memerintahkan untuk menunaikan itu semua. Siapa yang tidak melaksanakannya di dunia ini, akan diberikan hukuman di akhirat nanti, sebagaimana yang ada dalam hadits shahih, Rasulullah n bersabda:

لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى أَهْلِهَا حَتَّى يُقْتَصَّ لِلشَّاةِ الْجَمَّاءِ مِنَ الْقَرْنَاءِ

“Sungguh-sungguh kalian tunaikan hak pada yang berhak menerimanya, sampai-sampai dituntut qishash untuk kambing yang tidak bertanduk dari kambing yang bertanduk.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/245)

Termasuk di antara konsekuensi perintah untuk menunaikan amanah pada yang berhak menerimanya adalah perintah untuk menjaga amanah tersebut. Tidaklah mungkin seseorang menunaikan amanah itu tanpa menjaganya. Yang dimaksud menjaganya adalah tidak melampaui batas dan tidak pula menyepelekannya. Dia menjaganya sesempurna mungkin tanpa berlebihan dan tanpa meremehkan, sampai amanah itu tertunaikan pada yang berhak menerimanya. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/731)

Inilah yang harus kita ketahui, kemudian kita ajarkan kepada anak-anak, agar terbentuk sifat terpuji yang dapat menambah keimanan dalam diri mereka. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t mengatakan, “Menunaikan amanah termasuk tanda keimanan seseorang. Karena itu, jika kau dapati seseorang memiliki sifat amanah dalam segala sesuatu yang diamanahkan kepadanya, menunaikannya sesempurna mungkin, ketahuilah bahwa dia seorang yang kuat imannya. Dan jika kau dapati seseorang bersifat khianat, ketahuilah bahwa dia lemah imannya.” (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/731)

Jangan sampai justru kita –orangtua– yang merusak sifat amanah dan membiasakan sifat khianat pada anak-anak. Tentu kita tidak ingin anak kita memiliki sifat tercela yang merupakan perangai orang munafik. Abu Hurairah z mengatakan bahwa Rasulullah n pernah bersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda-tanda munafik itu ada tiga: jika bicara berdusta, jika berjanji menyelisihi janjinya, dan jika diberi amanah mengkhianati.” (HR. Al-Bukhari no. 33 dan Muslim no. 107)

Rasulullah n memberitakan hal ini di antaranya agar kita berhati-hati dari sifat-sifat tercela ini, karena semua sifat ini termasuk tanda kemunafikan. Dikhawatirkan sifat kemunafikan dalam amalan (nifaq ‘amali) ini akan menggiring seseorang kepada kemunafikan dalam i’tiqad (keyakinannya), wal ‘iyadzu billah! Hingga akhirnya dia menjadi seorang munafik i’tiqadi, sehingga tanpa sadar dia telah keluar dari Islam. (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/736)

Lihat bagaimana seorang ibu yang mulia, Ummu Sulaim x menguatkan sifat amanah yang dimiliki oleh anaknya, Anas bin Malik z. Ini diceritakan sendiri oleh Anas bin Malik z:

أَتَى عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ n وَأَنَا أَلْعَبُ مَعَ الْغِلْمَانِ. قَالَ: فَسَلَّمَ عَلَيْنَا، فَبَعَثَنِي إِلَى حَاجَةٍ، فَأَبْطَأْتُ عَلَى أُمِّي. فَلَمَّا جِئْتُ قَالَتْ: مَا حَبَسَكَ؟ قُلْتُ: بَعَثَنِي رَسُوْلُ اللهِ n لِحَاجَةٍ. قَالَتْ: مَا حَاجَتُهُ؟ قُلْتُ: إِنَّهَا سِرٌّ. قَالَتْ: لاَ تُحَدِّثَنَّ بِسِرِّ رَسُوْلِ اللهِ n أَحَدًا

“Rasulullah n pernah mendatangiku ketika aku sedang bermain-main dengan anak-anak yang lain. Beliau memberi salam kepada kami, lalu menyuruhku untuk suatu keperluan, sehingga aku terlambat pulang kepada ibuku. Ketika aku datang, ibuku bertanya, ‘Apa yang membuatmu terlambat?’ ‘Rasulullah n menyuruhku untuk suatu keperluan,’ jawabku. ‘Apa keperluannya?’ tanya ibuku. Aku menjawab, ‘Itu rahasia.’ Ibuku pun mengatakan, ‘Kalau demikian, jangan kau beritahukan rahasia Rasulullah n kepada siapa pun!’.” (HR. Al-Bukhari no. 6289 dan Muslim no. 2482)

Jangan pula kita ajarkan anak untuk membalas sikap khianat orang lain jika ternyata suatu waktu hal ini menimpa si anak. Bahkan Rasulullah n mengajarkan kita untuk tetap jujur dalam amanah yang diberikan pada kita, walaupun pemilik amanah itu adalah orang yang pernah berlaku khianat pada kita. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:

أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ، وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
tali pernikahan dengan wanita-wanita kafir, dan hendaklah kalian minta mahar yang telah kalian bayarkan, dan hendaknya mereka meminta mahar yang telah mereka bayarkan. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kalian. Dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Sempurna hikmah-Nya.”
Ayat ini adalah ayat ujian bagi wanita-wanita mukminah yang berhijrah. Maka Rasulullah n pun menguji Ummu Kultsum, begitu pula wanita-wanita yang datang setelahnya. Beliau mengatakan, “Demi Allah, tidak ada yang membuat kalian keluar untuk berhijrah kecuali kecintaan terhadap Allah, Rasul-Nya serta agama Islam ini. Dan kalian tidak keluar karena ingin mendapatkan suami ataupun harta.”
Apabila wanita itu menyatakan demikian, maka dia dibiarkan tetap tinggal bersama kaum muslimin dan tidak dikembalikan pada keluarga mereka yang masih kafir.
“Allah telah membatalkan isi perjanjian ini bagi para wanita dengan ayat yang telah kalian ketahui,” kata Rasulullah pada Al-Walid dan ‘Ammarah, kedua saudara Ummu Kultsum. Akhirnya mereka berdua kembali dengan tangan hampa.
Waktu itu, Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah x belum menikah. Setelah kedatangannya di Madinah, dia disunting oleh Zaid bin Haritsah z. Namun ketika turut dalam Perang Mu’tah, Zaid gugur dalam dahsyatnya medan pertempuran. Setelah itu, Ummu Kultsum menikah lagi dengan Az-Zubair ibnul ‘Awwam z. Allah menganugerahkan pada mereka seorang anak perempuan bernama Zainab.
Ternyata dalam perjalanan kehidupan mereka berdua, pernikahan ini berakhir dengan perceraian. Ummu Kultsum menikah lagi dengan ‘Abdurrahman bin ‘Auf z hingga lahir dua orang anak, Ibrahim dan Hamid. Ummu Kultsum tetap berada di sisi ‘Abdurrahman bin ‘Auf sampai sang suami meninggal.
Sepeninggal ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Ummu Kultsum menikah dengan ‘Amr ibnul ‘Ash. Namun sebulan setelah pernikahan itu, Ummu Kultsum meninggal.
Semasa hidupnya, Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah x meriwayatkan hadits dari Rasulullah n. Di antaranya yang termuat dalam Ash-Shahihain, tatkala Rasulullah n bersabda, “Bukanlah pendusta orang yang mendamaikan di antara manusia, lalu dia mengatakan perkataan yang baik atau menyampaikan ucapan yang baik.”
Dia juga meriwayatkan dari Busrah bintu Shafwan x. Kedua putranya dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Ibrahim dan Hamid, meriwayatkan hadits yang disampaikannya.
Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah, semoga Allah meridhainya.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber Bacaan:
Al-Ishabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar (8/462-464)
Al-Isti'ab, Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (2/593-594)
Ath-Thabaqatul Kubra, Al-Imam Ibnu Sa’d (10/218-220)
Tahdzibul Kamal, Al-Imam Al-Mizzi (35/382)
1 Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 240.
2 HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 183, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 136. Al-Imam Muslim meriwayatkan pula dalam Shahih-nya dengan lafadz:
لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، حَتَّى يُقَادَ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ الْقَرْنَاءِ
“Sungguh-sungguh kalian akan menunaikan hak pada yang berhak menerimanya pada hari kiamat, sampai-sampai dituntut qishash untuk kambing yang tidak bertanduk dari kambing yang bertanduk.”